Home / Berita / Maha Menteri Tedjowulan Tolak Hadiri Jumenengan Gusti Purboyo

Maha Menteri Tedjowulan Tolak Hadiri Jumenengan Gusti Purboyo

Jakarta, SinarUpdate.com – Persaingan suksesi di Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat kembali memanas. Maha Menteri Keraton, KGPA Panembahan Agung Tedjowulan, secara tegas menolak hadir dalam acara jumenengan (penobatan) KGPAA Hamengkunegoro sebagai Pakubuwono XIV (PB XIV). Keputusan ini menjadi salah satu babak paling krusial dalam konflik internal keraton.

Tedjowulan mengirimkan surat imbauan resmi bernomor 16/MM/KKSH/11-2025 kepada pihak penyelenggara jumenengan. Dalam surat itu, ia meminta agar prosesi pelantikan PB XIV hentikan sementara. Alasan utamanya: keraton masih berada dalam masa berkabung 40 hari sejak wafatnya PB XIII. Menurut Tedjowulan, waktu berkabung ini tidak bisa abaikan begitu saja karena merupakan bagian dari tradisi dan penghormatan adat.

Lebih lanjut, ia menyatakan bahwa rencana penobatan PB XIV lakukan secara tergesa-gesa. Ia menilai belum ada pembicaraan mendalam antar anggota keluarga keraton, dan prosesnya tampak melewati aturan (paugeran) yang berlaku.

Posisi Legal dan Kewenangan Tedjowulan

Dalam berbagai pernyataannya, Tedjowulan menegaskan bahwa perannya saat ini bukan sebagai raja, melainkan pelaksana tugas (Plt). Ia menyandarkan kewenangannya pada SK Mendagri Nomor 430‑2933 Tahun 2017, yang menetapkan struktur kepemimpinan Keraton Surakarta. Tak hanya itu, peran Plt ini perkuat dengan surat dari Kementerian Kebudayaan yang mengakui posisinya dalam pengelolaan keraton.

Meski memilih tidak hadir dalam jumenengan, Tedjowulan menegaskan bahwa posisinya bersifat netral. Ia menyatakan tidak berpihak ke salah satu kandidat pengganti PB XIII, baik ke KGPAA Hamengkunegoro (Gusti Purboyo) maupun ke KGPH Hangabehi.

Ia juga mengambil inisiatif untuk mengumpulkan 29 putra‑putri dari PB XII dan PB XIII dalam sebuah rapat keluarga besar di Sasana Handrawina. Tujuannya: membuka ruang rembuk agar friksi suksesi bisa selesaikan secara adat dan kekeluargaan.

Kekecewaan Terhadap Proses Penobatan

Menurut Tedjowulan, ia sama sekali tidak diberi informasi resmi tentang rencana penobatan PB XIV pada awalnya. Ia mengaku mendapatkan kabar tentang jumenengan dari media atau dari pesan yang beredar bukan dari panitia resmi atau pihak keraton secara formal.

Saat ditanya apakah akan menghadiri acara penobatan. Ia menyatakan bahwa kemungkinan tidak berada di Solo karena memiliki agenda ke luar negeri (misalnya ke Hong Kong).

Maha Menteri Tedjowulan Tolak Hadiri Jumenengan Gusti Purboyo

Tantangan Suksesi: Dua Klaim Raja

Salah satu akar permasalahan adalah munculnya dua klaim calon PB XIV. Kelompok satu mendukung Gusti Purboyo (putra mahkota), sementara kelompok lain mendukung Hangabehi (anak tertua PB XIII) sebagai penerus, sesuai paugeran keraton.

Tedjowulan menyatakan bahwa sebelum penobatan definitif, perlukan koordinasi lebih dalam antara keluarga besar keraton dan musyawarah adat agar pemilihan raja berikutnya bisa terima oleh semua pihak.

Implikasi Politik dan Budaya

  • Stabilitas internal keraton: Penolakan Tedjowulan menggarisbawahi bahwa suksesi keraton bukan sekadar ritual, tetapi juga proses politis dan budaya yang rumit.
  • Legitimasi tradisi vs kecepatan deklarasi: Masalah mempercepat penobatan dapat anggap melewati norma adat, sehingga menimbulkan resistensi dari tokoh adat seperti Maha Menteri.
  • Peran negara: Karena Tedjowulan menyebut SK Mendagri dan surat kementerian, jelas bahwa negara (pemerintah pusat) masih punya andil dalam pengelolaan keraton Surakarta.
  • Pentingnya dialog intra keluarga: Pengumpulan 29 putra-putri keraton menunjukkan bahwa mediasi internal menjadi sangat penting agar tidak terjadi perpecahan yang berdampak lebih luas.

Keputusan Maha Menteri Tedjowulan untuk tidak menghadiri jumenengan PB XIV adalah tindakan simbolis sekaligus strategis. Ia menegaskan pentingnya menghormati masa berkabung adat. Memastikan proses suksesi berjalan sesuai paugeran Keraton, dan membuka ruang dialog. Agar pemilihan raja baru bisa sah secara adat dan terima oleh keluarga besar. Konflik ini pun mencerminkan pergeseran peran tradisional dan keterlibatan negara dalam keraton modern.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *